Oleh: Paox Iben
REVIENSMEDIA.COM, MATARAM – Bahagia itu jelas tidak sederhana meskipun bisa disederhanakan. Bahagia juga tidak semerta sama atau identik dengan rasa senang yang bersifat sementara.
Bahagia adalah rasa keberterimaan tanpa syarat. Rumah bagi Sang Ada, Aleitheia~ kata filsuf Martin Heidegger Tempat segala kontradiksi dipertemukan dan dipersatukan dalam wujud murninya. Begitulah, dalam bahagia, seseorang akan merasa diri utuh dan cukup dengan kondisi yang ada. Hal-hal itulah yang mungkin ingin ditularkan oleh para penggiat teater dari Jogjakarta yang berkeliling dari kota ke ke kota mementaskan lakon “Energi Bangun Pagi Bahagia” ini.
Saya senang, bahagia, menyambut mereka. Sebab di era tumpah ruah sikap & pemikiran intoleransi ini tak banyak ‘pejoeang kegoembiraan jang sebenarnja’ di tengah bergejolaknya “rasa papa”, kemiskinan penghargaan dan penghormatan terhadap setiap daya hidup serta keberbedaan. Bahwa dalam kesementaraan hidup ini, seseorang boleh saja memiliki prinsip sebagai pegangan dan mata arah, namun tak semua harus dilakoni dengan “mekengkeng, zakelij, nesunan, Pek menange dewe dan menyingkirkan prinsip liyan.”
Dan teater, dunia pemanggungan, permainan-permainan, telah pula mengajarkan agar kita senantiasa menghargai setiap peran dan perwatakan hidup.
Sebab selayaknya pergelaran, hidup hanyalah sandiwara besar, tempat segala kenisbian dipentaskan dan dipertukarkan dalam putaran nasib.