Laporan: Sri Widowati Retno Pratiwi
REVIENSMEDIA.COM, PURWOREJO – Dahulu sekitar tahun 1800-an hiduplah pasangan suami isteri, Ki Sumorejo dan Nyi Sumorejo. Pasangan petani dan juga tokoh masyarakat tersebut memiliki dua orang anak. Si sulung bernama Ganang yang berusia 3 tahun . Sedangkan adiknya masih berumur beberapa bulan. Sehari-hari keluarga ini banyak beraktivitas di huma atau sawah tadah hujan kepunyaan mereka yang cukup luas.
Suatu hari, seperti biasa mereka pergi ke huma. Ki Sumorejo berangkat lebih dahulu membawa sapinya untuk membajak sawah. Begitu sampai, Ki Sumorejo menambatkan sapinya pada tonggak yang terpancang di depan sebuah batu besar. Kemudian dia bersemedi di sekitar lokasi batu itu dan setelah beberapa saat berselang, barulah dia mulai bekerja. Sedangkan Nyi Sumorejo menyusul, datang belakangan. Dia mengendong anak bungsunya, sementara tangan kirinya menuntun si Ganang dan tangan kanannya menenteng bekal makanan. Ketika tiba, Nyi Sumorejo pun menuju ke tempat bongkahan batu besar lain yang jaraknya agak jauh dari batu dimana Ki Sumorejo menambatkan sapi. Dia membuat ayunan bayi di dekat batu yang di bawahnya terdapat lobang goa. Setelah meletakkan si bungsu dalam ayunan dan menyuruh si Ganang menjaganya sambil bermain-main di sekitar tempat ayunan itu berada, Nyi Sumorejo bergegas ke sawah. Lalu dia matun atau membersikan rumpun-rumpun padi dari rumput-rumput liar.
Hari beranjak semakin siang. Ketika sedang asyik-asyiknya bekerja, tiba-tiba Nyi Somorejo mendengar Si Ganang berteriak dengan suara cadelnya , “Mbook…ono adang owoo mbook!” (maksudnya : Mbok… ada kadal panjang). Tak lain karena Ganang memang melihat seekor binatang yang menyerupai kadal besar yang panjang dan menakutkan. Berhubung suara teriakan Ganang yang cadel, ditambah lagi posisi dirinya yang sudah agak jauh dari tempat si Ganang, Nyi Sumorejo jadi salah paham. Dia mengira kalau Ganang, ”Mbook…..wadange digowo mbook?” (Mbok…nasinya dibawa ya mbok) Maka tanpa menoleh dan masih terus bekerja, Nyi Sumorejo menyahut, ”Iyooo, kono dipangan wae!” (Iya sana dimakan saja). Tak lama kemudian kembali Ganang berteriak lebih keras disertai tangisan. “Mbook… adikku diowo adang owoombook!” ( Mbok… adikku dibawa kadal panjang huuuhuuuhuu…). Ganang terus saja menjerit dengan tangannya yang menunjuk-nunjuk.
Jeritan si Ganang yang semakin keras dan menyayat hati membuat Nyi Sumorejo tersentak. Dia segera meninggalkan pekerjaanya dan langsung menghampiri si Ganang. Betapa terkejutnya Nyi Sumorejo saat mendapati ayunan bayi dimana dia meletakan anak bungsunya sudah rusak porak-poranda. Nyi Sumorejo menjadi histeris manakala dia melihat ke arah yang ditunjuk-tunjuk oleh Ganang. Ternyata bayinya telah berada di dalam mulut seekor kadal panjang dan dari luar hanya tinggal terlihat kedua kakinya saja. Serta merta Nyi Sumorejo berusaha sekuat tenaga menyelamatkan bayinya yang dilahap kadal panjang itu. Maka terjadilah perebutan bayi dengan tarik – menarik yang sangat alot. Mulut si kadal panjang begitu erat mencengkeram kepala dan tubuh bayi Nyi Sumorejo. Sebaliknya Nyi Sumorejo sebisa mungkin menarik kaki bayinya supaya keluar seluruh tubuh si bayi dari mulut kadal panjang. Namun apa daya, kekuatan Nyi Sumorejo tak sebanding dengan tenaga si kadal panjang. Dia jatuh terjengkang dan harus menerima kenyataan bayinya hilang dibawa si kadal panjang masuk ke lobang goa di bawah batu besar itu.
Tinggallah Nyi Sumorejo dan Ganang meratap tiada henti, hingga akhirnya mengundang perhatian Ki Sumorejo juga warga desa lainnya. Berbondong-bondong mereka datang dan segera mengerumuni Nyi Sumorejo. Begitu mendengar penuturan Nyi Sumorejo tentang peristiwa tragis yang baru saja terjadi, semua orang dilanda ketakutan. Apalagi setelah beberapa orang memberikan kesaksian bahwa hewan ternak peliharaan mereka, seperti kambing, ayam dan sejenisnya seringkali lenyap tak tentu rimbanya jika hewan-hewan tersebut digembalakan di dekat batu bergoa itu. Mereka pun yakin si kadal panjang yang melahap bayi Nyi Sumorejo itu sesungguhnya adalah ular naga penunggu goa batu tersebut dan biang keladi dari setiap peristiwa kehilangan ternak yang mereka alami. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain bersikap lebih berhati-hati dan tidak mencoba-coba lagi mendekati mulut goa.
Demikian pula halnya dengan Ki Sumorejo. Dia dan seluruh keluarganya dirundung kesedihan mendalam. Terlebih-lebih bagi Nyi Sumorejo sebagai ibu yang menyaksikan secara langsung bayinya direnggut paksa oleh sang naga. Namun malam harinya Nyi Somorejo mendapat isyarat melalui mimpi. Dalam mimpinya dia datangi oleh orang tua berjanggut panjang. Orang tua itu berpesan agar Nyi Sumorejo mengikhlaskan bayinya untuk dirawat dan diasuh dalam goa batu tempat dirinya berebut bayi dengan sang naga. Sejak saat itulah batu tersebut dikenal dengan nama batu “Sumong” yang artinya batu tempat untuk nyusoni karo momong (menyusui dan mengasuh) anak.
Adapun lokasi batu Sumong berada di wilayah desa Sidoleren, kecamatan Gebang, kabupaten Purworejo. Bongkahannya tegak menjulang dengan ukuran tinggi sekitar 25 m, keliling 110 m dan luas 700 m² . Pada 17 Agustus 2016 lalu batu Sumong beserta curug Sidoasri yang antar keduanya berjarak 50 meter ini resmi ditetapkan sebagai obyek wisata oleh jajaran Muspika Gebang. Semua tak lepas dari prakarsa Danramil Gebang, Kapten Infanteri Sunarno demi mengangkat nama desa Sidoleren pada khususnya dan kecamatan Gebang padaumumnya. Batu Sumong sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi pendakian. Terlebih lagi di atas batu Sumong telah berdiri sebuah gazebo sederhana. Di gazebo itu pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Purworejo dari ketinggian sambil berselfie ria atau sekedar duduk-duduk rileks saja.
Suparman selaku perangkat desa Sidoleren menjelaskan bahwa daya tarik yang hendak ditonjolkan dari wisata batu Sumong adalah memang kisah tragis yang dialami keluarga Sumorejo sebagaimana tersebut di atas. Lebih jauh dia menuturkan. Setelah peristiwa bayi bungsu keluarga Sumorejo yang digondol oleh kadal panjang alias ular naga, ternyata misteri terus berlanjut. Setiap malam selasa kliwon selalu terdengar bunyi gamelan unik nan aneh dari batu Sumong. Bunyi gamelan itu tentu menimbulkan kengerian tersendiri bagi warga desa yang tinggal di sekitar lokasi batu Sumong. Pada akhirnya Ki Sumorejo dan Nyi Sumorejo kembali mendapat petunjuk gaib. Petunjuk gaib yang mengisyaratkan supaya warga setempat rutin menggelar acara merti desa tiap tahun sekali pada bulan Sapar. Semenjak warga Sidoleren rutin melaksanakan merti desa hingga kini suara gamelan misterius dari batu Sumong tak pernah terdengar lagi. Rangkaian acara merti desa sendiri dimulai dengan kegiatan membersihkan seluruh kompleks makam yang ada di desa Sidoleren. Kemudian kegiatan pengajian, tahlilan dan berakhir pada kegiatan puncaknya, yaitu pertunjukan seni tayub.
Sayangnya goa di bawah batu Sumong sudah ditutup rapat-rapat dengan tanah . Tentu ini sedikit mengurangi pesona batu Sumong. Namun, penutupan goa yang berlangsung pada tahun 1946-an itu bisa dimaklum karena alasan keamanan. Meski tak pernah terjadi insiden memilukan seperti yang menimpa bayi keluarga Sumorejo, tetapi banyak sekali insiden hilangnya ternak peliharan warga sebelum lobang goa tersebut ditutup. Pada beberapa bagian goa yang tertutup juga masih tampak bekas-bekas pembakaran api. ”Pembakaran dilakukan maksudnya untuk mencegah agar ular naga tidak keluar lagi dari goa dan menimbulkan kekacauan”, imbuh Suparman.
Wisata batu Sumong saat ini sudah cukup ramai pengunjungnya . Pada hari libur ketika cuaca sedang cerah jumlah pengunjung wisata batu Sumong bisa mencapai 100 orang lebih. Tetapi memang infrastruktur masih menjadi kendala. Jalan utama menuju lokasi batu Sumong adalah jalan tanah yang selain curam juga becek ketika turun hujan, sehingga rawan bagi keselamatan pengunjung. Oleh sebab itu, pemerintah desa Sidoleren tengah mewacanakan untuk mengalokasikan sebagian dana desa guna pembangunan wisata batu Sumong maupun curug Sidoasri lebih baik lagi. Support dari Pemkab dan berbagai pihak lainnya tentu sangat diharapkan. Jika pengelolaan obyek wisata ini bisa maksimal, sehingga menarik kunjungan banyak wisatawan, niscaya akan meningkatkan laju perekononomian masyarakat di sekitarnya.
Editor: Muh Khoirudin
Foto: Hasyim, Ida